Dua Sisi Koin Pasar Maling
Sabtu (17/12) keramaian memadati sepanjang
Jalan Wonokromo. Seperti perputaran antara matahari dan bulan. Berbaris rapi
kendaraan umum dalam sengatan pagi dan berubah menjadi tempat transaksi jual
beli saat malam tiba. Masyarakat Surabaya menyebutnya Pasar Maling, terletak di
Jalan Stasiun Wonokromo, Jagir, Wonokromo, Surabaya. Memiliki operasi kerja
setiap hari sejak 19.00 WIB hingga pagi hari. Penutupan pasar bergantung pada
penjual lapak, mayoritas menutup lapak jam 02.00 WIB, namun ada pula yang menutup
lapak hingga jam 05.00 WIB.
Masyarakat Surabaya tidak asing dengan
sebutan Pasar Maling, tetapi akan membuat penasaran bagi pelancong dari luar
Surabaya. Pasar Maling bukan berarti penjual adalah maling dan begitu juga
dengan pembeli. Tetapi barang yang di jual belikan ada yang berasal dari buah
pencurian, namun tetap dengan transaksi jual beli yang sah. Seperti yang pernah
ditulis “Lensa Indonesia” tentang penangkapan pemasok handphone hasil pencurian
di Pasar Maling. Selain itu, sebutan maling mengarah pada pencuri, kerap
populer dengan sebutan copet yang berpura-pura sebagai pembeli. Tingkat
kewaspadaan pengunjung dan penjual dengan sikap hati-hati terhadap topeng copet
terselubung. Pasar Maling terbesit di kaum awam sebagai barang yang negatif.
Pandangan tersebut membuat geram para pedagang, sebutan Pasar Wonokromo atau
Pasar Jongkok lebih cocok bagi pedagang. “Pembeli tidak di sediakan tempat
duduk, sehingga harus jongkok dulu kalau mau beli, makanya disebut Pasar
Jongkok” (ujar Hery penjual handphone).
Hanya beralaskan tikar dan terpal dengan
jajaran barang jualan. Lapak antar lapak hanya dibatasi dengan barang yang
dijual belikan. Satu kali satu meter petak jalan untuk lapak, kurun waktu
sebulan dengan harga sewa Rp 100.000,- (ukuran standar). Area lapak untuk
berjualan harus terdaftar pada koordiner lapak dalam wilayah tersebut. Pasar
ini tak jauh berbeda dengan pasar tradisional pada umumnya. Tas, sepatu,
sandal, baju, handphone, televisi, aksesoris handphone, dan berbagai alat
elektronik lainnya di jual di pasar ini. Perbedaannya pada handphone di jual
dalam pasar tradisional, yang memang jarang ditemui. Pada umumnya handphone di
jual di konter kecil hingga besar, namun sekarang dapat ditemui di pasar
tradisional.
Penjual handphone mendapat pasokan
handphone dari berbagai teman maupun pembeli. Teman dari lingkungaan komunitas
penjual handphone atau konter-konter kecil maupun besar di Surabaya menjadi
pemasok handphone yang dijual belikan. Selain itu, pengunjung terkadang hanya
menjual handphone saja atau memilih untuk tukar tambah handphone tersebut.
Mengenai kualitas handphone yang dijual sangat beragam, tingkat harga tentunya
mempengaruhi kualitas handphone. Handphone yang dijual adalah handphone second,
baik itu sehari pakai maupun bertahun-tahun dalam penggunaan. Terdapat pula
handphone rakitan asli maupun rakitan China, tetapi bukan penjual yang merakit.
Penjual hanya sebagai fasilitator antara pemasok dan pembeli. Untuk handphone
yang bersegel dalam kotak jarang bahkan tidak ada di pasar ini.
Banyaknya pengunjung yang datang di pasar
ini, sangat tergiur dengan harga yang ditawarkan dan memilih kualitas yang
mumpuni. “Untuk harga pembeli pada umumnya dipacu harga standar pasaran, namun
untuk pembeli yang akan menjual kembali ada selisih sekitar Rp 100.000,- sampai
Rp 200.000,-“ (tutur Aldi penjual handphone). Pemasok handphone lainnya, ada
yang berasal dari Batam. Tempat pendistribusian barang elektronik yang besar di
Indonesia, namun masih ada barang elektronik yang di distribusikan secara ilegal.
Barang elektronik dari distributor Batam tergolong barang asli dari negara
pembuat, hanya saja lolos dari pengawasan pajak negara. Barang tersebut
berdampak pada hilangnya garansi resmi pusat service elektronik yang ada di
Indonesia. Jadi tidak heran harga elektronik tersebut menjadi lebih murah dari
pasar lainnya.
Pasar ini menjual handphone second dalam
kondisi baik dan siap pakai. Namun prediksi mengenai bahan elektronik, tidak
jauh dari kata gangguan. Komplain para pelanggan pernah di alami oleh Hery
salah satu penjual handphone di Pasar Maling, seperti layar handphone yang
bermasalah karena kelalaian pengguna, membuat handphone terjatuh. Permasalahan
klasik tersebut terkadang terjadi. Namun jarang terjadi komplain yang terlalu
serius. Tetapi penjual tidak menerima jasa service handphone.
Perspektif yang berbeda antara penjual
dan pembeli karena latar belakang informasi yang dimilikinya. Namun
sejarah yang tertanam dalam opini masyarakat akan susah dirubah. Sebutan Pasar
Maling sering terucap di masyarakat dibandingkan dengan nama Pasar Wonokromo.
Pasar Maling memiliki konotasi negatif di beberapa kalangan masyarakat yang
mengacu pada barang hasil curian. Sebenarnya stereotip tersebut tidak
sepenuhnya benar. Karena masih banyak barang dari distributor dengan transaksi
jual beli yang sah dan bukan hasil barang curian. Kualitas yang tak jauh dari
pasar pada umumnya. Selisih harga cukup untuk menghemat kantong, tentunya
dengan pintar-pintar bernegosiasi dengan penjual.