Minggu, 18 Desember 2016

Dua Sisi Koin Pasar Maling


Sabtu (17/12) keramaian memadati sepanjang Jalan Wonokromo. Seperti perputaran antara matahari dan bulan. Berbaris rapi kendaraan umum dalam sengatan pagi dan berubah menjadi tempat transaksi jual beli saat malam tiba. Masyarakat Surabaya menyebutnya Pasar Maling, terletak di Jalan Stasiun Wonokromo, Jagir, Wonokromo, Surabaya. Memiliki operasi kerja setiap hari sejak 19.00 WIB hingga pagi hari. Penutupan pasar bergantung pada penjual lapak, mayoritas menutup lapak jam 02.00 WIB, namun ada pula yang menutup lapak hingga jam 05.00 WIB.
Masyarakat Surabaya tidak asing dengan sebutan Pasar Maling, tetapi akan membuat penasaran bagi pelancong dari luar Surabaya. Pasar Maling bukan berarti penjual adalah maling dan begitu juga dengan pembeli. Tetapi barang yang di jual belikan ada yang berasal dari buah pencurian, namun tetap dengan transaksi jual beli yang sah. Seperti yang pernah ditulis “Lensa Indonesia” tentang penangkapan pemasok handphone hasil pencurian di Pasar Maling. Selain itu, sebutan maling mengarah pada pencuri, kerap populer dengan sebutan copet yang berpura-pura sebagai pembeli. Tingkat kewaspadaan pengunjung dan penjual dengan sikap hati-hati terhadap topeng copet terselubung. Pasar Maling terbesit di kaum awam sebagai barang yang negatif. Pandangan tersebut membuat geram para pedagang, sebutan Pasar Wonokromo atau Pasar Jongkok lebih cocok bagi pedagang. “Pembeli tidak di sediakan tempat duduk, sehingga harus jongkok dulu kalau mau beli, makanya disebut Pasar Jongkok” (ujar Hery penjual handphone).
Hanya beralaskan tikar dan terpal dengan jajaran barang jualan. Lapak antar lapak hanya dibatasi dengan barang yang dijual belikan. Satu kali satu meter petak jalan untuk lapak, kurun waktu sebulan dengan harga sewa Rp 100.000,- (ukuran standar). Area lapak untuk berjualan harus terdaftar pada koordiner lapak dalam wilayah tersebut. Pasar ini tak jauh berbeda dengan pasar tradisional pada umumnya. Tas, sepatu, sandal, baju, handphone, televisi, aksesoris handphone, dan berbagai alat elektronik lainnya di jual di pasar ini. Perbedaannya pada handphone di jual dalam pasar tradisional, yang memang jarang ditemui. Pada umumnya handphone di jual di konter kecil hingga besar, namun sekarang dapat ditemui di pasar tradisional.
Penjual handphone mendapat pasokan handphone dari berbagai teman maupun pembeli. Teman dari lingkungaan komunitas penjual handphone atau konter-konter kecil maupun besar di Surabaya menjadi pemasok handphone yang dijual belikan. Selain itu, pengunjung terkadang hanya menjual handphone saja atau memilih untuk tukar tambah handphone tersebut. Mengenai kualitas handphone yang dijual sangat beragam, tingkat harga tentunya mempengaruhi kualitas handphone. Handphone yang dijual adalah handphone second, baik itu sehari pakai maupun bertahun-tahun dalam penggunaan. Terdapat pula handphone rakitan asli maupun rakitan China, tetapi bukan penjual yang merakit. Penjual hanya sebagai fasilitator antara pemasok dan pembeli. Untuk handphone yang bersegel dalam kotak jarang bahkan tidak ada di pasar ini.
Banyaknya pengunjung yang datang di pasar ini, sangat tergiur dengan harga yang ditawarkan dan memilih kualitas yang mumpuni. “Untuk harga pembeli pada umumnya dipacu harga standar pasaran, namun untuk pembeli yang akan menjual kembali ada selisih sekitar Rp 100.000,- sampai Rp 200.000,-“ (tutur Aldi penjual handphone). Pemasok handphone lainnya, ada yang berasal dari Batam. Tempat pendistribusian barang elektronik yang besar di Indonesia, namun masih ada barang elektronik yang di distribusikan secara ilegal. Barang elektronik dari distributor Batam tergolong barang asli dari negara pembuat, hanya saja lolos dari pengawasan pajak negara. Barang tersebut berdampak pada hilangnya garansi resmi pusat service elektronik yang ada di Indonesia. Jadi tidak heran harga elektronik tersebut menjadi lebih murah dari pasar lainnya.
Pasar ini menjual handphone second dalam kondisi baik dan siap pakai. Namun prediksi mengenai bahan elektronik, tidak jauh dari kata gangguan. Komplain para pelanggan pernah di alami oleh Hery salah satu penjual handphone di Pasar Maling, seperti layar handphone yang bermasalah karena kelalaian pengguna, membuat handphone terjatuh. Permasalahan klasik tersebut terkadang terjadi. Namun jarang terjadi komplain yang terlalu serius. Tetapi penjual tidak menerima jasa service handphone.

Perspektif yang berbeda antara penjual  dan pembeli karena latar belakang informasi yang dimilikinya. Namun sejarah yang tertanam dalam opini masyarakat akan susah dirubah. Sebutan Pasar Maling sering terucap di masyarakat dibandingkan dengan nama Pasar Wonokromo. Pasar Maling memiliki konotasi negatif di beberapa kalangan masyarakat yang mengacu pada barang hasil curian. Sebenarnya stereotip tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena masih banyak barang dari distributor dengan transaksi jual beli yang sah dan bukan hasil barang curian. Kualitas yang tak jauh dari pasar pada umumnya. Selisih harga cukup untuk menghemat kantong, tentunya dengan pintar-pintar  bernegosiasi dengan penjual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar